Jelas,
saya memandangnya sebagai seorang pengamat yang marah. Saya berkata,
“Saya marah.” Pada saat marah, tidak ada ‘aku’;
sang ‘aku’ muncul sesaat kemudian—yang berarti waktu.
Dapatkah saya memandang fakta itu tanpa faktor waktu, yang adalah
pikiran, yang adalah kata? Ini terjadi bila orang memandang tanpa si
pengamat. Lihat ke mana itu menuntun saya. Sekarang saya mulai melihat
suatu cara memandang—melihat tanpa opini, tanpa kesimpulan, tanpa
menyalahkan, tanpa menghakimi. Maka, saya melihat kemungkinan
“melihat” tanpa pikiran, yang adalah kata. Maka batin
berada di luar cengkeraman gagasan, konflik dualitas dan seterusnya.
Jadi, dapatkah saya memandang rasa takut bukan sebagai fakta terisolasi?
Jika anda mengisolasikan suatu fakta yang belum membuka pintu kepada
segenap alam batin, marilah kita kembali kepada fakta dan mulai lagi
dengan mengambil fakta lain, sehingga Anda sendiri dapat mulai melihat
keadaan batin yang luar biasa, sehingga Anda memiliki kunci, Anda dapat
membuka pintu, anda dapat menembus ke dalamnya. ...
... Dengan merenungkan satu ketakutan—takut akan kematian, takut
akan tetangga, takut bahwa teman hidup Anda akan mendominasi Anda; Anda
tahu masalah dominasi itu—apakah itu akan membuka pintu? Itulah
yang penting—bukan bagaimana untuk bebas dari itu—oleh
karena begitu Anda membuka pintu, ketakutan itu terhapus sama sekali.
Batin adalah hasil dari waktu, dan waktu adalah kata—betapa luar
biasa memikirkan itu! Waktu adalah pikiran; pikiranlah yang menumbuhkan
ketakutan, pikiranlah yang menumbuhkan ketakutan akan kematian; dan
waktulah, yang adalah pikiran, yang menggenggam seluruh liku-liku dan
kehalusan ketakutan.
The Book Of Life
Jiddu Krishnamurti