Waktu
berarti bergerak dari apa adanya menuju “apa seharusnya”.
Saya sekarang takut, dan suatu hari kelak saya akan bebas dari
ketakutan; oleh karena itu, diperlukan waktu untuk bebas dari
ketakutan—setidak-tidaknya begitulah pikiran kita. Untuk berubah
dari apa adanya menjadi “apa seharusnya” dibutuhkan waktu.
Nah, waktu menyiratkan adanya upaya di dalam selang waktu antara apa
adanya dan “apa seharusnya”. Saya tidak suka ketakutan, dan
saya akan berupaya memahami, menganalisis, membedahnya, atau saya akan
menemukan akar penyebabnya, atau saya akan melarikan diri sama sekali
darinya. Semua ini menyiratkan upaya—dan upaya adalah apa yang
kita kenal. Kita selalu berada dalam konflik antara apa adanya dengan
“apa seharusnya”. “Apa seharusnya” adalah suatu
gagasan, dan gagasan itu khayal, itu bukan ‘apa adanya diri
saya’, yang adalah fakta. Dan “apa adanya diri saya”
hanya dapat diubah apabila saya memahami kekacauan yang diciptakan oleh
waktu.
.... Jadi, mungkinkah bagi saya untuk bebas dari ketakutan sama sekali,
sepenuhnya, seketika? Jika saya biarkan ketakutan berlanjut, saya akan
menciptakan kekacauan selamanya. Oleh karena itu, kita melihat bahwa
waktu adalah suatu unsur di dalam kekacauan, bukan cara untuk pada
akhirnya bebas dari ketakutan. Jadi, tidak ada proses berangsur-angsur
untuk bebas dari ketakutan, persis seperti tidak ada proses
berangsur-angsur untuk bebas dari racun nasionalisme. Jika Anda
memiliki nasionalisme dan Anda berkata pada akhirnya akan ada
persaudaraan sesama manusia, di dalam selang waktu itu akan ada perang,
ada kebencian, ada kesengsaraan, ada perpecahan yang mengerikan di
antara sesama manusia ini; oleh karena itu, waktu menciptakan kekacauan.
The Book Of Life
Jiddu Krishnamurti